Tuhan Kita
Sama
Materi ini diambil
dari buku Al-Zaytun Sumber Inspirasi | Penulis Drs. Ch. Robin
Simanullang
Demikianlah kami dalam pertemuan pertama malam itu
mengajukan pertanyaan kepada Syaykh Panji Gumilang. akhirnya, pertanyaan kami
semua dijawab sangat cair. tak terasa waktu sudah bergulir larut malam. akhir
kata, saya pun mengucapkan terimakasih atas keterbukaannya. lalu mengulurkan
tangan bersalaman pamit.
Sambil menggenggam tangan saya, beliaupun
berucap:”Terimakasih juga anda sudi datang kemari, tapi saya minta jangan
mengatakan berbeda aliran. Tuhan kita sama, udah selesai. anda beriman, kita
beriman, itu kesamaannya. nggak usah dikatakn benar tidak benar. yang tahu
benar itu cuma yang diatas sana ( Allah ). yang penting kita praktekan
kebenaran, kita berjalan pada nilai nilai kebenaran, nanti yang diatas sana
yang menilainya. indonesia kalau sudah begitu, udah beres. karena kita majemuk.
kalau tidak begitu, susah. justru saya yang minta anda jangan pakai istilah
berbeda aliran. aliran kita sama karena kita sama sama ciptaan Tuhan. itu
konsep Ilahinya”.
Saya terkesima mendengar ucapan akhir percakapan ( wawancara
) tersebut. layaknya sebuah epilog! sejenak saya tertegun berdiri seraya masih
bersalaman. Pernyataan akhir itu semakin memicu inspirasi dan imajinasi saya
menerawang sampai jauh, menembus ruang dan waktu hingga dibalik tabir. Kesan
pertama saya, beliau Syaykh, guru besar, ulama yang sudah mengenal Allah dan
kebenarannya, melampaui pengenalan banyak kiyai dan ulama, juga banyak pendeta
dan pastor yang saya kenal.
Saya yakin, pernyataan itu manandakan beliau sudah tahu
banyak tentang kisah ( sejarah ) panjang hubungan Allah dan manusia, mulai dari
zamannya nabi Adam, Nuh, Ibrahim ( Abraham ) serta kedua anaknya Ismail dan
Ishak, sampai ke zamannya Musa, Isa ( Iesua, Jesus )dan Nabi Besar Muhammad
SAW, hingga hari ini. Saya yakin pengetahuan beliau sudah sangat mumpuni
tentang siapa Allah yang ini disembah oleh umat beragama didunia, khususnya
penganut agama samawi atau sering juga disebut agama Abrahamik, atau agama
langit yang bersumber awhyu Elohim atau Allah ( Yahudi, Kristen dan Islam ).
Selain itu, Pernyataan itu menunjukan seberapa tinggi, luas
dan dalamnya kualitas logika toleransi dan logika keimanan yang beliau miliki.
Pernyataan itu juga mengandung makna bahwa beliau tidak menganggap orang lain
yang berbeda agama sebagai orang kafir. “anda beriman, kita beriman, itu
kesamaannya. nggak usah dikatakan benar tidak benar. yang tahu benar itu cuma
yang diatas sana ( Allah ). yang penting kita praktekan kebenaran, kita
berjalan pada nilai nilai kebenaran, nanti yang diatas sana yang menilainya”, kalimat
lepas bersahaja tetapi amat sarat makna logika toleransi dan logika
keimanannya. Pernyataan akhir syaykh panji gumilang itu juga menginspirasi saya
berkata dalam hati : bahwa memang, iman bukan untuk ditoleransikan, tetapi
nilai nilai kemanusiaan dalam nilai nilai keimanan itulah yang seharusnya
menjadikan kita menjadi manusia yang penuh toleransi.
Lalu, saya melepas genggaman tangan dengan sikap dan respek
rasa hormat, berpamitan pulang malam itu juga. salam hati, saya
menyandingkannya dengan tokoh tokoh pluralisme yang telah menjadi tokoh
inspirasi bagi saya sejak mahasiswa , seperti KH Abdurrahman Wahid ( Gus Dur
)dan Nurcholis Madjid ( Cak Nur ), Serta belakangan Prof . Safii Maarif ( Buya
Syafii ), dimana setiap tulisan dan ucapan mereka sangat inspiratif memperluas
cakrawala toleransi dalam keberagaman, juga dalam hal moral.
Dalam hal pencerahan moral dan logika iman, saya juga
menyandingkannya dengan seorang pendeta, yakni Pendeta Prof.Dr. Andar Lumban
Tobing, Mantan rektor Universitas HKBP Nommensen dan mantan Bishop Gereja
Kristen Protestan Indonesia ( GKPI ), yang setiap ucapannya. bagi saya, selalu
mencerahkan dan menginspirasikan pemahaman pemahaman alkitabiah dan teologis,
tetapi dalam pemahaman kehidupan praktis dalam komunitas bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Setelah minum secangkir teh tarik khas Al-zaytun di resto
lantai dasar isma Al islah, tepat pukul 00.15, Kami meninggalkan Al-zaytun, kembali
menuju jakarta, lewat haurgeulis – Patrol
– Pantura – Tol Cikampek – Jakarta. Rasanya, saya bersama dua wartawan
dan seorang sopir sama sekali tidak merasa lelah. sepanjang jalan kami
membincangkan kesan atas apa yang kami saksikan, dengarkan dan rasakan langsung
dari hasil liputan ke Al-zaytun itu. intinya, mencuat rasa kagum. Kami
berkesimpulan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar